FILM KTP: RUMITNYA BIROKRASI DAN DISKRIMINASI IDENTITAS



Film "KTP" menceritakan tentang petugas kecamatan bernama Darno mendatangi rumah mbah Karsono yang berencana membuat KTP. Dengan KTP Mbah Karsono bisa memperoleh jaminan kesehatan dari negara. Saat ditanya agama, Mbah Karsono menjawab kejawen. Lantaran tidak ada solusi akhirnya mereka melibatkan pak RT, pak RW, dan mengundang semua warga. Singkat cerita, Mbah Karsono tetap tidak mengurus KTP karena warga bersepakat akan mengurusnya jika suatu saat sakit.

 Ini jika dilihat secara sekilas memanglah terlihat biasa saja. Ternyata ada banyak makna yang mendalam dalam film ini.

Cerita Mbah Karsono yang tidak dapat menuliskan kepercayaan kejawen yang dianutnya dalam KTP lantaran pemerintah hanya menyediakan enam pilihan agama adalah sebuah penggambaran bahwa masih adanya diskriminasi identitas terhadap para penganut atau penghayat kepercayaan.

Masih ada saja para penghayat kepercayaan ini yang belum bisa menuliskan kepercayaannya pada kolom agama di KTP. Hal itu juga bentuk nyata dari rumitnya birokrasi yang masih terjadi saat ini.

Rumitnya birokrasi dan diskriminasi identitas yang terjadi selama ini digambarkan dalam sebuah film bertajuk KTP yang dibalut dengan komedi.


Menarik dari suatu kesimpulan untuk pendataan KTP tersebut betapa sulitnya  akses keluar masuk transportasi yang sangat terbatas sehingga dampak yang didapatkan kesulitan terutama bagi masyarakat awam di pedalaman atau sifat penduduknya turun temurun baik itu pengetahuan agama dan lain sebagainya.

Untuk kesan dengan adanya atau ketertinggalannya ilmu pengetahuan bagi masyarakat yang ada di pedalaman, terkesan alot dan ortodoks yang tidak bisa dipaksakan dalam hal tersebut. Baik itu di segi pendidikan maupun agama Yang mereka dapatkan dari peninggalan dari turun temurun nenek moyang mereka. Sehingga orang-orang yang mempunyai ilmu untuk memberikan penyuluhan pengetahuan kepada masyarakat pedalaman terutama masyarakat awam Yang ada di pedalaman.

Sehingga terkesan bahwasanya masyarakat pedalaman terutama masyarakat Ortodoks tersebut. Tidak bisa untuk dipaksakan dan tidak menerima apa-apa yang disampaikan oleh pemerintah baik itu program kesehatan atau bantuan. karena mereka jarang sekali mendapatkan penyuluhan penyuluhan sehingga tidak nyambung. Jika dikatakan akan berdampak miskomunikasi dengan keadaan tersebut.